Translate

Jumat, 28 November 2014

Antologi Puisi “Surabaya Di Lembar Kenangan” (Karya 6 penyair) dalam ulasan DR. Tengsoe Tjahjono, M.Pd

MEMPERTAHANKAN LOKALITAS SURABAYA DALAM PUISI
Oleh : DR. Tengsoe Tjahjono, M.Pd.

    Kota dan puisi merupakan dua entitas yang memiliki hubungan khusus. Banyak penyair yang tergoda untuk menuliskan pengalamannya bergaul dengan sebuah kota ke dalam puisi-puisinya. Kota dengan segala keunikan dan rahasia yang dimilikinya sering memberikan inspirasi bagi penyair. Penyair bukan hanya tergoda untuk mengekalkan yang indah dari sebuah puisi, tetapi juga mengkritisi segala yang kurang baik dari sebuah kota, entah kritik terhadap tata ruang, tata kelola, dan sebagainya. Di sisi lain, sebuah kota memerlukan penyair sebab puisi bisa hadir sebagai catatan abadi dan cermin yang bagus bagi eksistensi sebuah kota.
    Antologi Puisi “Surabaya, di lembar kenangan” juga lahir dengan latar belakang seperti itu. Ada 6 penyair dalam antologi ini yaitu Hasan Bisri BFC (Jakarta), Pipie Johan Egbert (Surabaya), Yanie Wuryandari (Jakarta), Baby Anis K (Tokyo), A.Rahim Eltara (Sumbawa), Fitrah Anugerah (Bekasi). Mereka berenam merupakan sosok yang pernah bersinggungan dengan kota Surabaya entah karena pekerjaan maupun karena memang tanah kelahirannya. Ada di antara mereka sekarang ini yang sudah meninggalkan kota Surabaya namun masih memiliki catatan khusus mengenai kota tersebut.
Hasan Bisri yang ketika di Surabaya berkegiatan menulis, entah sebagai wartawan atau sastrawan, banyak menuliskan perjumpaannya dengan pelbagai fenomena, entah orang, tempat, atau peristiwa. Makam Mbah Bungkul, Taman Bungkul, Kantor Surabaya Post, Monumen, Kenjeran, Budi Darma, Suripan Sadi Hutomo, dan sebagainya dia tulis sebab fenomena-fenomena itu amat bernilai bagi Surabaya.
Pada puisi "Di Rumah Budi Darma" ia menulis: 
Pada akhirnya sampai juga di muara hatimu/ setelah berpayah mengarungi arus pikiranmu/ meski harus menelisik lagi/ rumit rimpang peta perjalanan/ yang kaugambar di atas lembar katakata/dan kenangan. 
Pertemuan dengan Budi Darma merupakan peristiwa yang amat berarti karena Hasan Bisri bisa secara langsung mengenali Budi Darma bukan hanya lewat tulisan. Menyelami pikiran seseorang memang tidak mudah, demikian menyelami keunikan Surabaya.
Dalam puisi "Veteran" Hasan Bisri mengritik secara lembut bagaimana Surabaya yang Kota Pahlawan itu menghargai para pejuangnya. Ia menulis: 
ketika perang usai/ ia menganyam rumah dari sayatan bambu runcing/ senjata yang dulu membuat kalangkabut Belanda/ dan diabadikannya ia dengan Setya Lencana/ benda keramat yang kelak bukan apaapa. 
Puisi ini sangat ironis dan satir. Banyak veteran yang justru menderita di masa kemerdekaan, apalagi di Surabaya. Bagi para veteran sebenarnya satya lencana bukan yang diperlukan. Yang mereka butuhkan adalah kehidupan yang layak, yang tidak hanya membangun rumah sari sayatan bambu runcing.
Bagaimana pula puisi Pipie Johan E yang pernah berkarya di bidang media radio ini? Tampaknya Pipie Johan rajin mencatat tempat-tempat istimewa di kota Surabaya. Banyak tempat di kota Surabaya yang tak ingin lewati begitu saja. Dalam puisinya :
"Membuang Jemu di Tepian Pantai Kenjeran" ia menulis: 
Di pantai Kenjeran tengah hari dengan angin melintas/ 
udara berbaur bau ikan terhirup bebas/ 
di hening pantai kubuang jemu atas rutinitas,/ 
menerbangkannya bergegas/ 
bersama camar yang datang sepintas/
lantas terbang lepas. 
Puisi ini sangat deskriptif. Puisi yang secara cermat menuliskan apa yang terindra oleh penyair. Ia melukiskan angin melintas, bau ikan, dan burung camar yang bergegas sebagai gambaran begitu dekatnya dengan alam. Mengapa? Alam yang indah dapat dihadirkan sebagai tempat melepas katup kejemuan karena tumpukan rutinitas. Dan, Surabaya memiliki tempat-tempat seperti itu.
Dalam puisi "Surabaya Setia Menampungku Pulang" Pipie Johan menulis:
Pintu Surabaya bagiku tak pernah tertutup dengan palang / 
senantiasa terbuka siap menampungku pulang/ 
sejauh manapun melangkah, Surabaya setia terjaga untuk menimang/ 
kala mengadukan perih luka perantauan dan nestapa yang panjang.
Puisi itu menunjukkan bahwa betapa ramahnya Surabaya bagi warganya. Surabaya memang sebuah kota terbesar kedua di Indonesia. Namun, Surabaya tidak memberikan kesan angkuh dan sombong. Bahkan, sekarang ini taman-taman indah dibangun di pelbagai tempat, membuat Surabaya menjadi sangat menyejukkan bagi warganya. Arsitektur kota Surabaya tampaknya masih mengedepankan pentingnya ruang hijau terbuka demi kenyamanan bersama. Oleh karena itu, sejauh-jauh seseorang pergi mengarungi hidupnya, toh Surabaya tetap akan menerima ketika mereka rindu pulang.
Yanie Wuryandari, seperti penyair lain, juga menuliskannya kedekatannya dengan Surabaya. Penyair yang pernah menjadi penyiar Radio Wijaya ini bukan hanya menuliskan keindahan Surabaya, tetapi ia tulis juga kegetirannya. Misalnya dalam puisi "Jembatan Suramadu Itu" secara utuh ia menulis seperti berikut ini.
JEMBATAN SURAMADU ITU
kemudian melesat matahari
jatuh ke dalam selat
mimpi-mimpi
membiru menjadi guratan sepi
bahkan saat jembatan garang itu
telah terpancang
kita telah tandas tenggelam
jauh ke dasar kehidupan
tak terjembatani lagi
mimpi masa lalu dan masa nanti
Memandang Suramadu bukan hanya terjebak pada kemegahan yang ditampakkan, tetapi juga dampak lain yang mungkin akan ditimbulkan. Bisa jadi karena Indonesia merupakan negara bahari, kehadiran jembatan penghubung antarpulau sesungguhnya sangat ironis. Pelaut membutuhkan kapal, bukan jembatan. Maka, Yanie memandang mimpi membiru menjadi guratan sepi oleh kehadiran jembatan tersebut, mimpi pelaut untuk menjadi bangsa pelaut yang besar.
Dalam puisi "Mekar di Bandara Juanda" Yanie menulis puisi yang romantis walau tetap menghadirkan latar kota Surabaya. Berikut ini puisinya.
MEKAR DI BANDARA JUANDA
ada gemuruh berlomba riuh
saat roda-roda rindu menyentuh kalbu
menuruni tangga demi tangga memeluk debar
langsung ke bumi hatimu yang tak henti bergetar
hangat apron juanda mengibar-ngibarkan nyala
membakar dalam pesona yang alpa untuk reda
ini tiketmu -katamu- menuju ke hatiku
ini pipiku -kataku- sentuhlah kapan saja kau rindu
Puisi tersebut menuliskan perpisahan yang menggetarkan. Ekspresinya menjadi amat khas karena Yanie memakai latar bandara secara cermat untuk menggambarkan suasana batin "aku lirik": roda - tangga - apron - tiket. Kepiawaian dalam hal menangkap kata dan memakainya untuk melukiskan suasana hati merupakan pembeda puisi Yanie dengan penyair lain dalam antologi ini. Puisi-puisi Yanie mampu menjadi jalan refleksi dan mawas diri.
Dalam antologi ini juga menampilkan puisi-puisi Baby Anis K. yang pernah menjadi penyiar radio dan guru. Puisi-puisi Baby tampak kuat pada nafas kristianinya. Misalnya puisi berikut ini.
DENTANG LONCENG PREGOLAN BUNDER
Dentang lonceng tiga kali
Sayup-sayup ditiup angin bulan Desember
Memanggilku memasuki ruang teduh
Mengucap janji pengakuan iman 
Untuk berjalan di ladang Tuhan.
Ladang itu tidak subur
Ladang itu perlu pekerja
Dan aku siap menanam benih di tanah terjal
Lonceng dan kubah tua Gereja Pregolan 
Menjadi saksi perjalanan ziarahku
Melintas batas dan budaya
Seraya menanti masa panen tiba.
Puisi tersebut berisi bagaimana aku lirik menjawab panggilan Tuhan untuk berkarya di ladang-Nya. Dunia ini merupakan ladang Tuhan, aku lirik merasa terpanggil untuk menjadi pekerja di ladang itu. Dan, bekerja di ladang itu bukan pekerjaan mudah karena bukan merupakan tanah yang subur. Relasi antara aku - dunia - pekerja - Tuhan merupakan relasi religius yang ditulis secara terbuka dalam puisi ini. Puisi dengan nafas kristen juga terdapat dalam puisi Baby berikut ini.
MELATI DI GANG DOLLY
(mengenang sahabatku, Evangelist R.H)
Seperti kuntum melati mekar, terjepit di antara aneka bunga artificial
Sekilas tak berbeda paras ayunya
Rasa ingin berguru padamu di waktu itu
Membawaku dalam pencarian panjang
Menyisakan teka-teki di senja hari
Sampai kutemukan perteduhanmu
Tersembunyi di sela-sela gemerlap lampu dan hingar bingar semu
Menyempil di sudut gang yang tak pernah lengang
Kakiku terhenti di depan rumah mungil berdinding kayu
Bertuliskan “RUMAH TANGGA BAIK-BAIK”
Aku termangu dalam ketukan yang terakhir
Ada kalanya sebuah pengumuman dan pernyataan
Menjadi dewa penolong
Daripada berdiam diri
Puisi tersebut dipersembahkan kepada sahabatnya seorang evangelist, pewarta kabar baik. Tampaknya temannya itu tinggal di perkampungan Dolly, sebuah kompleks pelacuran di Surabaya. Tulisan "Rumah Tangga Baik-baik" yang tertempel di pintu memang menjadi ironis sebab 'baik' yang sesungguhnya nilai pribadi biasanya terpancar lewat perilaku nyata. Hanya saja di tempat yang hiruk pikuk seperti itu tanda-tanda lahiriah sungguh diperlukan. Puisi-puisi Baby banyak berupa komentar atas fenomena atau peristiwa yang terjadi di Surabaya.
Penyair A. Rahim Eltara juga pernah tinggal di Surabaya dan kini bermukim di Sumbawa Besar. Ketika dia berada di serambi musholah DKS pada tahun 1999 puisi berikut ini.
KEPAK SAYAP FARDHU
Bulu sayap rasa 
gugur menancap di lengan nurani
kepak sayap fardhu menggetarkan senar biola batin
langkah digegaskan menuju rumah-Nya 
sujud merendah dalam takbiratul ikhram
Puisi Rahim ini juga kental nafas religiusnya. Rahim justru menuliskan kelebat batinnya, bukan menuliskan apa yang diindra. Puisi ini menunjukkan bahwa fenomena atau peristiwa merupakan pintu masuk untuk mensyukuri nikmat Tuhan dan menakjubi kebesaran Tuhan. Bahkan, dalam penggalan puisi berikut ini Rahim seakan menyadari kehadiran Tuhan di mana-mana, termasuk di dalam mall.
MEMASUKI SEBUAH MALL
WAJAHMU TERBINGKAI DI MANA-MANA
Aku melintas di ujung cahaya memasuki sebuah mall
Harum parfum beraneka merk simpang siur terbawa napas udara 
seola-ola kita berhadapan, saling menatap dalam-dalam. Dekat sekali.
Wajah kita hampir bersentuhan, napas letih tertukar di cakrawala.
Lalu kita bermain kejar-kejaran di antara belantara halaman
kitabmu yang terpampang di estalase. Kemudian aku melepas pakaian satu persatu
dan mengganti dengan trend mutakhir, mirip sekali dangan jubahmu.
Aku jadi terkesima memandang tumpah rua cahaya yang memancar dalam diammu.
Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam segala perilaku tentu menjadi sangat baik bagi jejak langkah manusia. Lebih-lebih jika ada kehendak untuk selalu menghadirkan Tuhan. Kesadaran seperti itu akan memperkecil tindakan manusia yang menyimpang dari jalan kebaikan. Tampaknya kota Surabaya yang menyuguhkan hingar-bingar bisa saja tidak menjebak manusia ke dalam tindakan menyimpang asal manusia memiliki kesadaran ketuhanan yang terjaga. Surabaya menjadi keras dan beringas bagi manusia yang tidak menyiapkan diri menamengi dirinya dengan perintah atau Sabda Tuhan.
Penyair terakhir yang terdapat dalam antologi ini adalah Fitrah Anugerah. Penyair kelahiran Surabaya ini sekarang berdomisili di Jakarta. Peristiwa-peristiwa kecil yang dialaminya ditulisnya dengan bagus. Misalnya puisi berikut ini.
PADA SEBUAH TAMAN KOTA
Di kotamu tak ku temukan kupu-kupu
Semenjak pelangi telah bersemayam
Dan tetes hujan menjadi keruh
Bersarang di hampar taman; ditimpa remang lampu
Dia menuliskan keadaan yang sesungguhnya menyedihkan. Di kota tak ada lagi kupu-kupu. Mengapa demikian? Sebab kupu-kupu memerlukan bunga, bunga memerlukan taman, taman sudah mulai berkurang karena kalah dengan pembangunan gedung-gedung. Bahkan, udara yang sudah tidak sehat membuat tetes hujan pun menjadi keruh. Dan, itulah keadaan kota besar. Di samping kemajuan yang dipamerkan, tetapi sekaligus menampilkan sisi-sisi murung dari kemajuan itu.
Fitrah juga menulis sebuah konteks budaya lokal yang menarik yaitu warung kopi giras. Tentu fakta ini merupakan bentuk antitesa terhadap gemerlap kota. Berikut puisi tersebut.
WARUNG KOPI GIRAS
Ia datang saat mata larut
Dalam secangkir kopi
Ia bercerita tentang arah angin
Yang menyimpang jauh 
Ia sendiri tak meyakini
Sebuah pertemuan
Secangkir kopi giras mencatat arah angin yang menyimpang jauh. Bisa jadi antara modernisasi dan tradisi lokal sudah berjalan dengan arah berlawanan. Dan, aku lirik tidak meyakini lahirnya sebuah pertemuan antara dua hal tersebut. Mau jadi apa kelak arsitektur kota Surabaya, kita semua bertanya. Kini, warga Yogyakarta mulai gelisah ketika budaya lokal mulai dikalahkan dengan berdirinya hotel-hotel besar dan jalan-jalan sudah dipenuhi wisatawan. Bagaimana dengan Surabaya? Akankah Surabaya juga akan kehilangan identitasnya?
    Enam penyair telah menuliskan segala kebanggaan, ketakjuban, dan sekaligus kegelisahan mereka atas Surabaya yang amat dicintai. Puisi-puisi dalam antologi ini memuat segala persoalan kota besar yang dikemas dengan cara sederhana. Surabaya boleh tumbuh menjadi kota megapolitan, tetapi hendaknya jangan tinggalkan nilai-nilai lokal yang indah. Jangan identitas lokal Surabaya lenyap digerus globalisasi.
Seoul, 7 November 2014
DR. Tengsoe Tjahjono, M.Pd.
Pengajar di Unversitas Negeri Surabaya
(Sekarang sedang menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Seoul Korea).

sumber: https://www.facebook.com/rozuno.kaori/posts/365281676972412

Minggu, 23 November 2014

2 (Dua) Puisi Fitrah Anugerah di Buku Sang Peneroka: Kado Ulang Tahun 60 Tahun Kurniawan Junaedhi



PUISI-PUISI 60 TAHUN KJ DI BUKU SANG PENEROKA

SANG PEMAIN
: 60 Tahun Mas Kurniawan Junaedi

Di atas hamparan persegi kita memegang kartu
pada banyak gambar. entah berarti apa?
namun nasib tak bisa dilukis meski mata kita
lukiskan ampas kopi yang telah kering

Kita adalah pemain di putaran waktu
bergelombang banting kartu. mungkin
gambargambar silaukan pandang mata
tapi pak polisi belum juga hadir.menyemprit

"Teruskan" katamu dan modalmu tak kan terselip
dalam lipatan celana. Bila begitu cabik pisau waktu
keluarkan isinya. Dan aku menanti waktu berbalik
menuju nol. Lalu raja+ratu akan turun dari atas balkon
titahkan 1000 prajurit bertepuk tangan

Bukankah kita ditakdirkan jadi pemenang
pada permainanan ini? setan dan malaikat pun
tak usik kemenangan ini. Bahkan raja+ratu rela
ditimpuk para prajurit yang mengendus. Dan kalah
adalah tangis bayi yang tak temukan puting susu

Bekasi, 2014
Fitrah Anugrah

RUMAH TUA
: Kurniawan Junaedi

Siapa penghuni rumah tua?
bukankah aku telah berdiam lama dan menunggumu keluar dari lubang silammu.
Hingga pantas sunyi dipasung di kaki-tanganku.

Siapa pemilik rumah tua?
bila kau memotong kelambu kesunyian lalu biarkan ku tersudut cahya di celah jendela.
aku terpojok di sudut dinding. Memandang dinding yang ternyata kusam.
aku lukis wajahmu hingga terkelupas lapisan cat. Tapi namamu tergores di bata tua.
Tetap saja kau menjadi repihan di senyap lantai

Tak terterka berapa umur rumah tua. Sedang kau menari, lompati waktu.
menitah angin menusuk mata tua - di kedalaman retina
aku memahat wajahmu terasa gurat meretak perlahan
dan enggan menuakan kata

Bekasi. 2014

Senin, 17 November 2014

Catatan Kebudayaan: Kota, Keterasingan, dan Puisi



Kota, Keterasingan, dan Puisi

Kota adalah ruang heterogenitas yang plural, dengan diwarnai peran-peran antagonisme atau pertentangan tiap warga kota. Di mana dengan peran-peran antagonisme itu warga kota selalu melakukan ‘extraction of value’, penambahan nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan terus melakukan sirkulasi/produksi nilai yang matematis (materialistis).
Kota dibangun berdasarkan azas kepemilikan pribadi di mana para warga kota diharuskan membayar sewa/hutang mereka pada pemilik modal, termasuk juga pemilik asset yang ditempati. Dalam hal ini tak ada sesuatu yang ‘gratis’ di kota. Karena itu warga kota berjuang atau tetap bekerja untuk menghasilkan nilai/uang/materi yang harus dibayarkan kembali ke pemilik modal/asset.
Dari keadaan seperti itu memunculkan adanya perjuangan dan pertentangan antara pemilik modal/asset untuk pengukuhan diri atau hegemoninya. Wajarlah dalam suasana seperti itu akan memunculkan perasaan kekuatiran dan kecemasan. Masing-masing akan merasa kuatir/takut pada sebuah kehilangan materi/nilai. Karena itu menjadikan materi sebagai segalanya yang menentukan, materi sebagai sebuah nilai yang diyakini melebihi segalanya (hal di luar materi).
Emily Durkheim di abad 19 lampau pun menyatakan tentang keadaan masyarakat/warga kota yang seperti itu adalah masyarakat yang sakit. Yaitu masyarakat terasing dari kemanusiaan dan manusia lain. Masyarakat yang individualis yang jauh dari pribadi sosial. Masyarakat yang terasing dan lupa dari asal-usul. Masyarakat yang terjebak dalam intensifikasi kerja yang tak habis-habisnya untuk memproduksi nilai/materi. Masyarakat yang masuk dalam lingkaran otomatisasi. Kehidupan yang serba mudah serta instan, dan modern hingga mengalpakan hubungan personal antara satu dengan yang lainnya, menaifkan jalan pulang dan menghambakan diri pada materi/uang. Akhirnya kita pun menjumpai segala rasa bentuk keterasingan di kota. Warga kota pun hidup dalam ruangan yang terpetak-petak dan bergerak seperti robot atau zombie yang terus berjalan pada waktu dan jalur yang telah ditetapkan.
Tentu saja yang paling diuntungkan dari keadaan masyarakat seperti ini adalah para pemilik modal/asset. Mereka membiarkan keadaan carut-marutnya kota dalam memproduksi nilai, dan tunggang-langgangnya warga kota dalam berproduksi/bersirkulasi nilai. Dengan itu mereka melangsungkan hegemoninya atas warga kota, di antaranya dengan memberikan kesadaran semu/palsu tentang sebuah nilai sementara menidurkan nilai-nilai kritis yang ada.
Di mana peran budaya/sastra menyadari keadaan seperti itu? Sedang Kapitalis pun ternyata telah memasuki ranah budaya/sastra dan yang memprihatikan pada keadaan seperti itu sastra ternyata seolah-olah ikut memproduksi keterasingan sendiri. Menjadikan sastra hanya sebuah melankolia yang sia-sia atau hampa dan jauh persoalan masyarakat dan jauh dari perenungan yang filosofis. Seolah budaya/sastra hanya menjadi bagian dari hiasan dari sebuah rumah kapitalisme.
Sebuah pemandangan yang umum barangkali bila kita melihat di sebuah cafe seorang datang dan duduk pada sebuah meja kafe. Lalu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku, daan ternyata sebuaah novel. Dia pun larut dalam membaca seolah tak peduli pada sekitarnya, larut dalam keterasingan sendiri setelah menjalani rutinitas kerja yang eksploitatif. Atau seorang penulis/penyair yang melarutkan diri pada sebuah ketenangan taman, jauh dari hiruk-pikuk atau carut-marut keadaan di luar taman. Seolah tak peduli, mengasingkan, dan asyik sendiri dalam sebuah kerja intensifikasi dalam memproduksi nilai.
Bagaimana dengan puisi? Agaknya perlu sedikit bernafas lega pada perpuisiaan mutakhir Indonesia tema-tema perkotaan dan keterasingan masyarakat kota atau penyairnya sendiri menjadi salah satu tema yang dominan dalam sejarah perpuisian Indonesia mutakhir. Penyair, terutama yang berbiodata di kota besar, sebagaimana halnya dia sebagai warga kota. Dia mengalami. Merasakan bagaimana kerja, bagaimana carut-marut, hiruk-pikuk dan tunggang-langgang kota. Bagaimana keterasingan di antara warga kota disebabkan perburuan sebuah nilai/materi, dan bagaimana individualismenya kota mengakibatkan asing/jauh dari asal/usul, dari kesadaran kritis hingga kesadaran semu/sia-sia menjiwai.
Afrizal Malna pun dalam puisi-puisinya lantang menyuarakan kecemasan dan keterasingan masyarakat kota dari asal-usulnya. Dengan gaya bahasa bermetafor benda-benda kota, dia mencoba hadirkan nuansa kesemrawutan kota (Jakarta). Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangantersendiri di hati kami,/yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah belajar/ membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan,/saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang/menggetarkan tanah ini, burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung kota/... (“Mitos-Mitos Kecemasan”).
Tentu pada tiap penyair berbeda intepretasi pengungkapan tentang kota dan keterasingan. Wajarlah setiap penyair yang mengalami pengalaman sendiri-sendiri tentang kota, kota besar tempat penyair menjadi bagian dari warga kota.  Kita tahu sastra (puisi) pada awalnya adalah usaha yang dilakukan dengan kepekaan emosi estetik dalam menirukan realitas empirik di luar teks menjadi sebuah bentuk dunia baru. Bisa dikatakan sebagai usaha untuk meruangkan fenomena-fenomena ke dalam tafsiran yang subjektif dalam usaha membenarkan kenyataan yang dianggapnya melenceng. Dalam hal itulah puisi mengembangkan alam reflektifnya untuk akhirnya tidak sekedar menghasilkan kontemplasi (perenungan) , namun lebih jauh suatu pertobatan berkualitatif ke dalam ruang praktis yang telah terdialektis lebih dari pendalaman, hingga pada akhirnya meninggalkan sesuatu atau melampaui sesuatu. Tentu saja, penyair(sastrawan) berperan sepenuhnya atas pilihan tema, bentuk, dan gaya bahasa pengungkapan dalam menghadirkan kembali kenyataan dengan sekian tafsir subjektifnya.
Dalam hal ini peran (sastra) puisi dengan bahasanya sendiri, perlunya menjadi sebuah pegangan moral, penuntun nilai, harapan (kabar gembira) sekaligus oase bagi khalayak pembaca di antara kegersangan atau keterasingan yang dialami. Diharapkan dengan bahasa reflektif dan kontemplatifnya menjadikan dialektika menuju kesadaran kritis, diharapkan muncul sebuah gerakan atau tindakan. Akhirnya kita pun berfikir dengan kekritisan kita tentang asal-usul kita, adanya kehadiran dan keberadaan sesuatu/orang lain (liyan). Dari sini sastra (puisi) diharapkan tidak menjadi beban/sampah di antara kota/zaman, tetapi sastra (puisi) menjadi cermin reflektif atau jembatan bagi khalayak pembaca dari obyek keterasingan, kehampaan, atau melankolia menuju kesadaran kritis yang subyektif.
Kembali ke kota, Karlina Supelli dalam makalahnya “Alam dan Kota” mengutip dialog Shakespeare empat abad yang lalu tentang pengertian kota. Shakespeare mengulang dialog antara Sinicius dan warga kota Roma (Coriolanus, act 3 scene 1). “Apalah kota kalau bukan ‘the people’, ujar Sinicius kepada warga kota Roma. “Benar, the people adalah kota”, jawab warga. The people saya artikan sebagai warga.
Dari dialog empat abad yang lalu dapat diartikan bahwa pengertian kota yang paling asali adalah ‘keberadaban’. Seluruh infrastuktur kota adalah demi menciptakan keberadaban, termasuk juga pola hubungan antara warga kota, warga kota dengan keberadaan infrastruktur kota. Kita mengharapkan dan kita mendambakan sebuah kota yang beradab, kota yang sopan ,  jauh dari tunggang-langgang atau carut-marut. Tapi ironisnya kota semakin menunjukan ambiguitas. Keberadaban kota seakan hal yang mengilusi setiap warga kota. Wajahmu adalah masa silam/kota hanya terik/hanya bising/hanya jadi tempat mukim/bagi maut dan segala yang terasing/tapi(sungguh)di kota yang hanya terik/hanya bising itu/pernah kulihat sosokmu manis/berdiri di simpang jalan/….(Indra Tjahyadi: Wajahmu Adalah Masa Silam dan kota Hanya Terik, 2008).
Terakhir saya cuplikan sebuah puisi lama dari Hartoyo Andangjaya tentang sebuah kota yang beradab atau ideal. Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan kesadaran untuk membentuk kota yang beradab dan ideal itu.
SALAM TERAKHIR

.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air

Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu

Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar

Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku

Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu

Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu

Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir

Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair


1973

Bekasi. 15 September 2014

Fitrah Anugerah

Dimuat di Buletin Jejak Forum Sastra Bekasi

Jumat, 07 November 2014

PUISI-PUISI FITRAH ANUGERAH DI OASE KOMPAS



Terminal Oso Wilangon

Senja di pinggir kota
gariskan mata duka ibu
mencoret langit biru
kibarkan umbul-umbul jingga
perayaan buat anak
yang terikat janur kuning
di pemberhentian.
Surabaya,23092009

Bulan Di Awal Bulan Lebaran

Bulan berselimut bubuk putih salju
tersimpan dalam toples plastik kaca
kanak-kanak berbaris termangu
melihat ibu menjilati wajah bulan
"inilah hari kemenangan buatmu" kata ibu
kanak-kanak berebut serpih bubuk putih
di gigi ibu
sedang bulan telah ditelan ibu dalam rahimnya.
Surabaya, 21072009

Keganjilan Malam

Keganjilan malam adalah hasratku menebas bulan terpecah jadi 1000 pecahan hingga kau terbangun dari tidur lalu ke luar rumah saat denting pecahan merusak mimpimu tapi kau masih sisakan lelap di ujung mata dan penglihatanmu kabur oleh debu pecahan kau pun melihatku berdiri di atas bukit layaknya panglima yang gagah berkilap pedang terkaget kau hingga menabrak pelepah kurma yang menyimpan burung-burung malam yang terbangun dan marah padamu lalu mematuki kepala dan isi kepalamu terganti ingatan tentang warna bulan dan merubahmu menjadi kucing
Keganjilan malam adalah waktuku menebas bulan terpecah-pecah dan pecahannya kusimpan di kotak parcel hingga burung-burung malam memburunya tapi aku timpuk kepalanya dengan pecahan bulan mereka tersengat oleh kilap cahayanya menusuk mata muncratkan bercak-bercak darah di warna gelap langit kiranya jadi buta dan kesasar pada setiap pelepah kurma di bawah bukit bersembunyi di tiap ranting tapi di sana menunggu kucing-kucing tanpa bayangan kengerian hanya nanar pandangan
Dan kudengar jerit-jerit burung tercabik kucing serasa pesta tanpa pendar lampu tapi aku ingin menyaksikan dan bersaksi buat kejadian itu bersama bintang-bintang yang belum tertidur namun bintang-bintang mengigil ketakutan dan berlari menjauh.
Dan gelap aku ingin bersaksi lalu kuingat matahari tersimpan di balik langit ku katakan padanya tentang bulan yang kutebas terpecah-pecah tapi matahari tak mau keluar hingga kuharus tebas ujung langit munculkan keluar matahari pun beringsut keluar dan menenggak berliter air laut
Itukah air yang berubah kembali menjadi embun menyirami amis hingga kucing-kucing berlarian mencari pecahan bulan yang tercecer kucing-kucing ketakutan kucing-kucing mau berlindung pada bulan sementara aku nyaris tak bergerak di dekap panas matahari menyaksikan kejadian dan mataku berubah mata burung berkembara mencari rumah tak terbayang bila malam nanti bulan akan menggenapkan malam. beribu kucing akan mengganggu mimpiku
Bekasi, 11092009

Petasan Cinta

Kata cintamu meletup di syahdu sahur.
Laksana sebaris malaikat melepas petasan
Di kerapatan malam.
Pecah mengurai segenap unsur
Yang membungkus birahi.
Hingga ragaku berpeluh hangat
mengingat sekejab kata yang terngiang.
Tapi aku dalam rahim sunyi.
Dingin waktu enggan melepas.
Takkan ku bertanya sejauhmana kedatangan katamu.
Sebab nabi pun terkaget mendengar letusan
di depan pintu pertapaannya.
"Iqro'" pesan cintamu terdengar seusai letusan.
Terbayang kelahiran kembali di akhir kegelapan langit.
Lalu jemari matahari akan merobek batas merah cakrawala.
Oh aku akan terlahir dari rahim sunyi.
Terlahir buat mencintai bumi
yang telah kau bentuk.
Bekasi,31082009

Malam-Malam Ketabahan

apa hendak dikata
bila bulan bergeser perlahan
dari tempat kuberdiri
sepertinya bosan dengan diamku
dan tak kuambil ranting kering
buat menarik bayang cahayanya
sebab kilaunya pantulkan sunyi di sekujur kulit
hanya desah nakal angin luruhkan daun-daun kering ini
aku tak menangis untuk kehilangannya
aku telah belajar ketabahan
dari rintik hujan di malam hari
yang menyimpan rinduku
dari ujung kepala sampai matakaki
bekasi, 11092009

Keroncong Sunyi

Bila silau cahyamu sudahlah terbuka pintu
akan tersembul lidah api pada waktu tak kutaksir...
Kutahu segala pilar langit tertunduk terasa ini akhir tapi bukan akhir
Dan bila lidah menjulurjulur menuju batas atsmosfir
Kutahu sebentar lagi awan memecah hujankan sejuta titik panas pada rumah yang pernah kau singgahi
Ah inilah akhir meski kau kata bukan saat terakhir. Hingga kusembunyi dalam inti sunyi. Dalam ruang tak kau pandang.
Dan kutahu rumahku hangus, ragaku kering, kenanganmu terhanyut jalur api. Tapi jiwaku bersembunyi pada taman sunyi dan bernyanyi keroncong. Sesudah kau lelah dalam mencari aku...
10mei2008-10mei2009

Kali Malang 1

menguap nasib orang-orang pinggir kali
pada langit hingga keringat kisahkan
jauh jarak kesedihan terlampaui
beramai orang-orang cuci baju,
beramai cuci celana
tapi hitam telah menembus raga'
mematung di delik mata
dan tangan ini mencelup dalam kali suci
lalu mengusap wajah.kesucianmu tersebut.
oh coba tengok kilau matahari
di hitam kali.
ah ternyata wajah mereka
terhanyut amuk kali.

Kali Malang 2

seperti wali menyusuri hidupmu
setelah keluar dari pertapaan
di atas rakit melihatmu terbujur diam
bagai buaya menghitung alir waktu
yang menuakan wajah
hingga wali menyelam kedalaman diammu
teramat abadi dan kanakkanak berlomba
menuju kediamanmu menangkap mutiara
dalam mulut kakumu tapi kau terlanjur diam
dan setia alirkan rakit sang wali di tengah sungai
dengan hembus wiridmu
lihat orangorang berduyun menumpang rakit sang wali
tapi rakit belum mau menepi, karena tak ada perayaan
menyambut. lalu orangorang menjebur di tepi sungai
memanggil buaya yang masih diam. menepuk-nepuk air
hingga buaya murka dalam pertapaannya.
lihat seribu buaya hampiri mereka namun mereka bersorak
karena sang wali akan datang,sebentar lagi menumpangi rakit,
menuju hulu sunyi. lalu berpeluk dalam gairah buaya.
dengungkan tentang sungai yang memberi mereka abadi
Bekasi, 20032008

Kubayangkan Surga

Kubayangkan surga berangkat temuimu di senja hari.
Dengan langkah tersuruk bagai langkah kereta yang kepayahan.
Dan jejal ratusan keinginan penghuninya.
Lalu engkau simpan surga pada cangkir kopi
Sebab nanti malam engkau akan menghitung jarak surga-neraka.
Bekasi, nov09

Selamat Sore Buatmu

Sepi senja.
Lebay jiwa.
Pergi kereta.
Mengejar surya.
Tak terucap kata pisah.
Tiket terbuang.
Anganku sia-sia.
Sebentar lagi kuterkapar.
Dalam hampa telaga.
Tiada mengenang.
Hanya langit jingga bersaksi kelak.
Bila kupernah tenggelam dalam airmata.
Bekasi, nov09

Hikayat Kucing dan Anjing

Aku melihat dia bagai kucing liar
Menyeret-nyeret tubuh mudamu
Lalu mencabik-cabik dalam kegelapan
Dia pandai telah membaca lengahku
Bagai anjing kesetanan, aku membentak pada dia.
Dia lari aku kejar.Ah dia hanya pecundang.
Pada sunyi mengendap-endap temui engkau
Agar takut tajam taring pendeknya.
Dan dia lari menuju ketiak pengasuhnya.
Aku takut. Aku lunglai.
Sebab wajah pengasuhnya ingatkanku pada kunti.
Oh aku serupa anjing terkapar di pinggir pagi.
Melihat tubuhmu telah dirobek dia.
Darahmu akanlah mengering nanti.
Kujilat-kujilati tubuhmu tetaplah kau kaku.
Aku menjerit. Aku menggonggong.
Rasanya telah keluar sumpahku.
Akan membuat dia bertelanjang.Tak berbulu halus...
Bekasi, 17nov2009

Ledakan Kebencian

Meledak kebencianmu yang tersimpan dalam kaleng cat.
Ah amarahmu yang semburat pada wajahku
Dan plafon pikiranku terwarnai hitam cacimu
Aku tahu lukamu sedemikian mengubah warna hidup.
Hingga dendam, hingga relakan gelap mencampur,
Putihmu telah mengelupas perih dari kesakitan tak berbalas.
Dan meledak sudah meledak kebencian.
Meninggalkan warna menawan dari senyummu.
Terhapus suci airmata dan doa.
Bekasi nov09

Kwetiauw Goreng

Kusajikan sepiring kwetiauw goreng di meja
Dengan sebaran repih-repihan hatiku dalam piring
Hatiku yang kuambil dan kupotong-potong
Lalu kumasak berbaur sulur kuning kwetiauw
dan cuilan bawang merah+putih,
garam, cuka, cabe, kaldu sapi dan lada.
Dadaku bagai wajan penggorengan buat segenap bahan masakan
Api kerinduan percepat mematangkan.Tercium aroma
Yang akan membukakan pintu penjara dalam perutmu.
Kau begitu menyukai.Melahap tandas setiap bagian
Tanganmu telah menangkap diriku dan aku jinak depan mulutmu.
Hingga kau jebloskan aku dalam penjara di perutmu.
Tiada sanggup melepas. Tiada bisa melihat wajahmu
Setelah menelan pedasnya diriku yang kau buang.
Kau marah dan kau curahkan segelas air dingin dalam penjara.
Tercurah penuh menggelontorku.Merendam pedasku
Sebentar lagi kau melepasku dalam genangan air.
Kau mau hanyutkan ku di sulur panjang aliran sungai.
Bekasi, 17nov09

Jejak Cinta

Dia hadjar berpeluh buat ismail.
Berlari-lari pada gersang gurun. Shofa-Marwah.
Kering Pasir pun kemilaukan terik matahari.
Jadi saksi meski dikata fatamorgana.
Itu hadjar membekaskan jejak tapak kaki.
Tak ada duka.Tiada keluh.
Keikhlasan menyertai. Peziarah mengikuti.
Lihatlah peluhnya menjadi kolam cinta
Buat ismail. Buat yang mau menjejakkan kaki
Bekasi, nov09


Rahasia Malam

Pada malam yang penuh rahasia tak terduga
Dan cahya bulan sembunyikan wajah matahari
Kubaca 1000 kata rahasia
di lembar gelap langit
Dan satu-satunya bintang yang tersisa
bawakan bangkai tikus
yang tertikam nanar kucingMu
Aku tahu. Aku tahu...
Aku menemukan di dini hari
saat angin lepaskan embun dari daun
jatuh menimpa bangkai tikus.
Menjadi suci. Dia menjadi suci.
Bekasi, 04102009

Gempa di Hatiku

Mulutmu menggempa di batas diammu.
Menggaungkan maksud yang tak kumengerti.
Dan lidahmu serupa tarian ular laut
Cipratkan air pada mayat tsunami yang berjejer kaku
Lalu terbukalah bibir merah perawanmu seperti mawar merah
tercium semilir aroma kengerian.
Kau kecupkan di telinga desis-desis kematian.
Sekejab saja kau semburkan bongkah-bongkah bisa
Pada lubang telinga.
Meracuni sudut kesadaran.
Aku limbung tak sempat berlari jauh
Sebab tanganmu mendekapku
Tangan yang membuat mengakhiri jerit di mulutku.
Dan aku serupa tiang bendera.
Tegak mengibarkan warna maut.
Tertancap dalam pelukanmu

Bekasi,03092009
Sajak Rujak Pepaya
Seandainya depan rumahmu tumbuh pepaya. dan aku lewat depan pagar lalu kau memanggilku buat petik buah yang matang. Hingga kuambil pipa panjang buat petik buah dari tangkai
Seandainya kau siapkan bumbu rujak secawan lalu kukelupas dan iris sebagian-sebagian. meleleh mata bukan karena rasa pedas namun ucapmu memintaku pertama cicipi.
pepaya merah-rujak hitam, pepaya manis-rujak pedas. hati-hati kau perlakukan sebab sederet bagian adalah rasa laparmu hingga tergigit bagian keras. kau mencerca
bila lunak tergigit terasa ingin menelan. kau tahu burung-burung mudah berkicau setelah memakan manis buah. sempat pula meleleh mata bila pedas mengiring lalu berdesis seperti ular yang terganggu tidurnya
Kenapa sepiring bila kau ingin kenal pedas+manis, sedang matamu berikan isyarat agar aku tak mengiris lagi? rasanya hatimu tak mau berbagi meski kau ingin aku mengambil banyak pepaya.

bekasi, 20092009

Wanita-Wanita yang Dicerai Suaminya

Wanita-wanita yang dicerai suaminya
bertanya pada matahari yang ketukan palu
pada kepalanya. Tentang ingatannya
yang lenyap terganti lingkaran waktu
senantiasa menajam pada pandangan
Lalu menuju pada senja yang kibarkan warna ungu
menjadi pintu kemuraman dengan satu penghuni lenyap.
meninggalkan pertanyaan pada bocah, " dimana bapak"
Wanita-wanita yang dicerai suaminya
bertanya pada bulan yang bangunkan birahi serigala kesepian
lalu mencari jejak yang sudah ditinggal
dan malam pantulkan bayang horor di dinding kusam.
terbayang tanya bocah tak terjawab diiring lolong serigala.
Wanita-wanita yang dicerai suaminya
membuka pintu rumah di pagi,
terkejut melihat nanar serigala
rupanya dia telah bantai ayam jago
"ibu itukah bapak" tanya bocah.
dan kau tancapkan bendera di kepala serigala
kau ingin serigala kabarkan dukamu pada bukit
yang menyimpan bulan dan matahari.

Bekasi, 06092009

Jampi Pelet

Di malam setelah bintang menyimpan keberuntungan. Dan kabut berundakundak menjangkau bulan. Engkau pun menaiki setiap tangga menuju pesanggrahan sang gagak. Setelah dia menyambar jiwa di senja yang berwajah api.
Malam ini dituntaskan upacara gaib. Dengan 7 rupa kembang dan darah ayam yang patah hati dalam belanga perak. Engkau dengungkan mantra pemanggil sang gagak di pertemuan rahasia. Terasa bergumpal seluruh dendam dan keinginan dalam air belanga. Bergumpal memecah wangi 7 kembang dan amis darah. Engkau merindukan dia sang gagak dalam gumpalan yang membumbung di awang-awang pesanggrahan.
Engkau telah terperangkap dalam rengkuh gagak. Dia membawamu pada pekat rimbun kabut. Lalu rebahkan jiwa pada meja bergambar penyihir negeri musa. Dan jiwamu terpotong-potong dalam repihan. Gagak bersorak. Gagak berkoak. Lalu mematuk repihan-repihanmu. Berisi dendam dan keinginan. Terlihat bolamatamu yang telah dicungkil.
Meresap keinginan pada bulu sayap gagak, dan dendam di bulu ekor yang tak pernah luruh. Hingga dia menerbangkan di atap-atap rumah. Kengerian bagi telinga bayi dan cemas buat wajah berkerudung kain putih.
Malam ini dan malam ini akan tuntas bagian akhir upacara. Gagak merontokkan bulu bagai tetes hujan meresap di tanah bolong. Menanamkan dendam dan sejuta keinginanmu. Lalu berdiam pada ruang yang tak terintip waktu. Hingga menjadi pohon berbuah khuldi dan ranting bagai sulur lidah ular.
Dan gagak berumah di dedaunan, melihat engkau yang telah mengambil rusuk perawan lalu kau simpan di pohon itu.
Dan malam ini, engkau tak akan sepi karena ada orang-orang terjaga mencari rusuk yang hilang. Sedang engkau tahu rusuk itu telah dibawa gagak terbang. Dan engkau mendapat upah: sebuah khuldi buat sarapan pagi
bekasi, 21052009

Janda Kembang Pantai Utara

Sudah lama dia terpaku pada lanskap pantai
Pantai yang mengingatkan seorang lelaki
Dari pelayarannya membawa ikan tanpa daging
Hanya kepala, tulang, dan ekor.
Di surut pantai dia rindukan lelaki kuat
yang menimba air dalam sumur berbau pesing
Lalu sirami kembang yang penuh tahi kucing
Layaknya perawan, dia ingin ciumi mekar kembang
Sebentar lagi ada pesta buatnya di depan latar
Dan penghulu tak perlu repot sediakan alasan
sebab sang lelaki kuat telah gantungkan ikan tanpa daging
di atap panggung. Yang menghadap pantai
Dia akan bergoyang kembali di atas panggung
bergoyang buat ribuan kucing yang terpana pada
ikan tanpa daging. tapi kucing-kucing tak mau berlepas
dan bergoyang dengannya. Sebentar lagi ada kesakitan
Kesakitan saat tangan pegang duri ikan. dia menjerit.
darah tertetes tapi dihisap arus purnama di atas pantai.
Cucuran ratap timpa resah kucing. kucing terbirit lari.
kucing tahu akan ada pasang dari jerit tangisnya.
Pasang hilangkan lelaki kuat.
Ternyata lelaki kuat telah karam: pada karang sunyi
Punggung tertoreh lukisan ikan. Dan hiu bisikan di telinga
"pergilah kau di pagi hari. ada yang menunggumu"
dan jadilah lelaki itu sebuah ikan tanpa daging.
Hanya kepala, tulang, dan ekor.
Lalu pagi yang masih malu-malu, dia melambai-lambai
Pada setiap pelayaran yang singgah di pantai.
Telah lama dia berdiri tegak menyanggah malam
dan kesakitan menggumpalkan pasir pada kaki-kaki.
Dan kau lelaki kuat rupanya angin pantai kabarkan bau amismu.
Bekasi, 16052009

Ikan Asin

Di kelengangan aku menemui dia. Tiada permisi menawariku cacing yang tergantung ujung kail. Aku menerimanya.Aku memakannya. Pada mulut tak bisa diam mencecap rasa tawar.
"Tunggu dulu.Jangan bergerak bila tak ingin mulut robek" serunya girang dan tangan menarik senar. Bibir tersenyum,sebentar lagi datang kucing menjilati lendir.Rupanya sudah lama kumis kucing tegak saat melihat kelebat baju perak yang kupakai.
Dia lihai mainkan kumis kucing.Dia lincah tusukan ujung kumis dalam kulitku."Kulitmu berlapis perak dan kulitmu kulepas satu persatu,kuganti kulit garam"bisiknya di telinga tapi tahukah aku telah megap-megap tertikam tajam kumis. Sebentar lagi badan tersayat-sayat lalu dia selipkan gumpal garam. "Kau tahu arti kepalsuan itu. Kau tahu segumpal garam cukup buatmu berubah" ujarnya.
Tubuh menjadi kering ditonton lalat yang datang ucapkan selamat karena aku telah menjadi bagian mereka.Tapi aku jauh dari kelengangan dan kilap matahari merajam lenggangku. Semakin ku terlupa pada baju awalku.
"Inilah kemurnian. Inilah upacara menikam lenggangmu.Kau terperangkap di keinginan matahari atas kesalahanmu" serunya lalu dia tengadah di hadap langit."Kupersembahkan buatMu sang pesakitan. Jangan Kau turunkan hujan.Sebab dia ku letakkan di atas papan" Dan aku terjemur di atas papan kayu, tertangkap matahari yang sudah lama mengintip gerakku.

Bekasi,11052009

Nurcahyani VII

Sunting aku, Nurcahyani. Meski belum tuntas kau bermesraan dengan malam.
Dan tak banyak kuambil nyala siang.
Pada pesanggrahan, yang terjemur baju pengantin.
Dan tersemat kupu-kupu merah yang masih basah.
Bersulam janur kuning di pintu. Kau pun berkerudung putih pagi.
Sedang aku berpeci hitam burgundy.
Dengan cara sederhana dan harus sederhana.
Mesti wajah orangtua ditempel di dinding kamar pengantin.
Sekali waktu disapa aroma kembang yang tumbuh dalam kamar.
Seperti menyapa penghulu yang kesepian di luar pagar.
Aku akan menyuntingmu di pagi ini, Nurcahyani.
Sebab mana mungkin menjauh darimu.
Sedang kau telah merajut gambar kelaminku di kain hijau.
Di malam itu. Lalu kau selimutkan kain di kasur tebal.
Jika begini aku akan pasang lampu 100 watt dalam kamar pengantin.
Dan bila kau nyalakan saklar. Kau tahu aku telah duduk di pinggir kasur.
Lalu kanak-kanak bersiul di luar kamar.
Kau pun malu-malu seperti perawan diterpa purnama ke-7.
Jika nanti penghulu sandingkan kau dengan aku di pinggir kasur.
Aku rindukan perkataanmu. Perkataan yang membuatku susuri selimut bergambar kelaminku...
Bekasi, 23052009

Terminal

Di bawah atap seng, kau tertidur bangku panjang
Dengan mata menyipit, samar warna lampu memekat
Tapi cemas selimutkan penantian, laksana mayat menunggu berangkat
Dalam endap malam, kau bisa mendengar
Empat lelaki berperut buncit duduk melingkar
Membanting kartu, lalu duka pengamen dentingkan pelan gitar
Dan ibu gendut yang usai gendong bayi lalu duduk mendengkur...
"Di sini, kita akan menjadi kupu-kupu, Anak muda" kata lelaki berperut buncit.
Tapi pengamen terisak, teringat bis terakhir
Airmata menggelinding di lembab lantai.Menyala.
silaukan mata empat lelaki perut buncit dan kau.
"Cuma ini yang tersisa. Bapak" seru pengamen
Mereka memungut airmata sebelum kecoa menghisap
Dikumpul di bekas koran pagi. Lalu siapkan lilin di tengah lingkaran.
Bertaruh di tiap airmata yang menjadi kupu-kupu di hari pagi
Dan malam menyimpan rahasia itu dalam atap terminal dan dengkur bis.
Kau pun ketakutan pada bayang kupu-kupu di atap bis
yang tidur bagai wajah mayat jelang pekuburannya
Rasanya kau harus kaburkan arah tujuan.
Sebab kupu-kupu akan merayu empat lelaki perut buncit
Torehkan di kaca bis garis maut. Yang telah buncitkan perut mereka
Bhttp://oase.kompas.com/read/2010/05/08/07374035/Puisi.puisi.Fitrah.Anugerahekasi, 31052009