Kota,
Keterasingan, dan Puisi
Kota adalah ruang heterogenitas yang plural, dengan
diwarnai peran-peran antagonisme atau pertentangan tiap warga kota. Di mana
dengan peran-peran antagonisme itu warga kota selalu melakukan ‘extraction of
value’, penambahan nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan terus melakukan
sirkulasi/produksi nilai yang matematis (materialistis).
Kota dibangun berdasarkan azas kepemilikan pribadi
di mana para warga kota diharuskan membayar sewa/hutang mereka pada pemilik
modal, termasuk juga pemilik asset yang ditempati. Dalam hal ini tak ada
sesuatu yang ‘gratis’ di kota. Karena itu warga kota berjuang atau tetap
bekerja untuk menghasilkan nilai/uang/materi yang harus dibayarkan kembali ke
pemilik modal/asset.
Dari keadaan seperti itu memunculkan adanya
perjuangan dan pertentangan antara pemilik modal/asset untuk pengukuhan diri
atau hegemoninya. Wajarlah dalam suasana seperti itu akan memunculkan perasaan
kekuatiran dan kecemasan. Masing-masing akan merasa kuatir/takut pada sebuah
kehilangan materi/nilai. Karena itu menjadikan materi sebagai segalanya yang
menentukan, materi sebagai sebuah nilai yang diyakini melebihi segalanya (hal
di luar materi).
Emily Durkheim di abad 19 lampau pun menyatakan
tentang keadaan masyarakat/warga kota yang seperti itu adalah masyarakat yang
sakit. Yaitu masyarakat terasing dari kemanusiaan dan manusia lain. Masyarakat
yang individualis yang jauh dari pribadi sosial. Masyarakat yang terasing dan
lupa dari asal-usul. Masyarakat yang terjebak dalam intensifikasi kerja yang
tak habis-habisnya untuk memproduksi nilai/materi. Masyarakat yang masuk dalam
lingkaran otomatisasi. Kehidupan yang serba mudah serta instan, dan modern
hingga mengalpakan hubungan personal antara satu dengan yang lainnya, menaifkan
jalan pulang dan menghambakan diri pada materi/uang. Akhirnya kita pun
menjumpai segala rasa bentuk keterasingan di kota. Warga kota pun hidup dalam
ruangan yang terpetak-petak dan bergerak seperti robot atau zombie yang terus
berjalan pada waktu dan jalur yang telah ditetapkan.
Tentu saja yang paling diuntungkan dari keadaan
masyarakat seperti ini adalah para pemilik modal/asset. Mereka membiarkan
keadaan carut-marutnya kota dalam memproduksi nilai, dan tunggang-langgangnya
warga kota dalam berproduksi/bersirkulasi nilai. Dengan itu mereka melangsungkan
hegemoninya atas warga kota, di antaranya dengan memberikan kesadaran
semu/palsu tentang sebuah nilai sementara menidurkan nilai-nilai kritis yang
ada.
Di mana peran budaya/sastra menyadari keadaan
seperti itu? Sedang Kapitalis pun ternyata telah memasuki ranah budaya/sastra
dan yang memprihatikan pada keadaan seperti itu sastra ternyata seolah-olah
ikut memproduksi keterasingan sendiri. Menjadikan sastra hanya sebuah
melankolia yang sia-sia atau hampa dan jauh persoalan masyarakat dan jauh dari
perenungan yang filosofis. Seolah budaya/sastra hanya menjadi bagian dari
hiasan dari sebuah rumah kapitalisme.
Sebuah pemandangan yang umum barangkali bila kita
melihat di sebuah cafe seorang datang dan duduk pada sebuah meja kafe. Lalu
membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku, daan ternyata sebuaah novel. Dia pun
larut dalam membaca seolah tak peduli pada sekitarnya, larut dalam keterasingan
sendiri setelah menjalani rutinitas kerja yang eksploitatif. Atau seorang
penulis/penyair yang melarutkan diri pada sebuah ketenangan taman, jauh dari
hiruk-pikuk atau carut-marut keadaan di luar taman. Seolah tak peduli,
mengasingkan, dan asyik sendiri dalam sebuah kerja intensifikasi dalam
memproduksi nilai.
Bagaimana dengan puisi? Agaknya perlu sedikit
bernafas lega pada perpuisiaan mutakhir Indonesia tema-tema perkotaan dan
keterasingan masyarakat kota atau penyairnya sendiri menjadi salah satu tema
yang dominan dalam sejarah perpuisian Indonesia mutakhir. Penyair, terutama
yang berbiodata di kota besar, sebagaimana halnya dia sebagai warga kota. Dia
mengalami. Merasakan bagaimana kerja, bagaimana carut-marut, hiruk-pikuk dan
tunggang-langgang kota. Bagaimana keterasingan di antara warga kota disebabkan
perburuan sebuah nilai/materi, dan bagaimana individualismenya kota
mengakibatkan asing/jauh dari asal/usul, dari kesadaran kritis hingga kesadaran
semu/sia-sia menjiwai.
Afrizal Malna pun dalam puisi-puisinya lantang
menyuarakan kecemasan dan keterasingan masyarakat kota dari asal-usulnya.
Dengan gaya bahasa bermetafor benda-benda kota, dia mencoba hadirkan nuansa
kesemrawutan kota (Jakarta). Kota kami
dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangantersendiri di hati
kami,/yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah
belajar/ membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan,/saat
merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau
bergoyang/menggetarkan tanah ini, burung-burung beterbangan memburu langit,
mengarak gunung-gunung kota/... (“Mitos-Mitos Kecemasan”).
Tentu pada tiap penyair berbeda intepretasi
pengungkapan tentang kota dan keterasingan. Wajarlah setiap penyair yang
mengalami pengalaman sendiri-sendiri tentang kota, kota besar tempat penyair
menjadi bagian dari warga kota. Kita
tahu sastra (puisi) pada awalnya adalah usaha yang dilakukan
dengan kepekaan
emosi estetik dalam menirukan realitas
empirik di
luar teks menjadi
sebuah bentuk dunia baru. Bisa dikatakan sebagai usaha untuk meruangkan
fenomena-fenomena ke dalam
tafsiran yang subjektif dalam usaha membenarkan kenyataan yang
dianggapnya melenceng. Dalam hal itulah puisi mengembangkan alam reflektifnya untuk akhirnya tidak sekedar menghasilkan kontemplasi (perenungan) , namun lebih jauh suatu pertobatan berkualitatif ke dalam ruang praktis yang telah terdialektis lebih dari pendalaman, hingga pada
akhirnya meninggalkan
sesuatu atau melampaui sesuatu. Tentu saja, penyair(sastrawan) berperan sepenuhnya atas pilihan tema, bentuk, dan gaya bahasa pengungkapan dalam menghadirkan kembali kenyataan dengan
sekian tafsir subjektifnya.
Dalam
hal ini peran (sastra) puisi dengan bahasanya sendiri, perlunya menjadi sebuah
pegangan moral, penuntun nilai, harapan (kabar gembira) sekaligus oase bagi
khalayak pembaca di antara kegersangan atau keterasingan yang dialami.
Diharapkan dengan bahasa reflektif dan kontemplatifnya menjadikan dialektika
menuju kesadaran kritis, diharapkan muncul sebuah gerakan atau tindakan.
Akhirnya kita pun berfikir dengan kekritisan kita tentang asal-usul kita, adanya
kehadiran dan keberadaan sesuatu/orang lain (liyan). Dari sini sastra (puisi)
diharapkan tidak menjadi beban/sampah di antara kota/zaman, tetapi sastra
(puisi) menjadi cermin reflektif atau jembatan bagi khalayak pembaca dari obyek
keterasingan, kehampaan, atau melankolia menuju kesadaran kritis yang
subyektif.
Kembali ke kota,
Karlina Supelli dalam makalahnya “Alam dan Kota” mengutip dialog Shakespeare empat
abad yang lalu tentang pengertian kota. Shakespeare mengulang dialog antara
Sinicius dan warga kota Roma (Coriolanus, act 3 scene 1). “Apalah kota
kalau bukan ‘the people’, ujar Sinicius kepada warga kota Roma.
“Benar, the people adalah kota”, jawab warga. The people saya
artikan sebagai warga.
Dari dialog
empat abad yang lalu dapat diartikan bahwa pengertian kota yang paling asali
adalah ‘keberadaban’. Seluruh infrastuktur kota adalah demi menciptakan
keberadaban, termasuk juga pola hubungan antara warga kota, warga kota dengan
keberadaan infrastruktur kota. Kita mengharapkan dan kita mendambakan sebuah
kota yang beradab, kota yang sopan ,
jauh dari tunggang-langgang atau carut-marut. Tapi ironisnya kota semakin
menunjukan ambiguitas. Keberadaban kota seakan hal yang mengilusi setiap warga
kota. Wajahmu adalah masa silam/kota
hanya terik/hanya bising/hanya jadi tempat mukim/bagi maut dan segala yang
terasing/tapi(sungguh)di kota yang hanya terik/hanya bising itu/pernah kulihat
sosokmu manis/berdiri di simpang jalan/….(Indra Tjahyadi: Wajahmu Adalah
Masa Silam dan kota Hanya Terik, 2008).
Terakhir saya
cuplikan sebuah puisi lama dari Hartoyo Andangjaya tentang sebuah kota yang beradab
atau ideal. Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan kesadaran untuk membentuk
kota yang beradab dan ideal itu.
SALAM TERAKHIR
.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air
Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu
Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar
Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku
Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu
Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu
Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir
Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair
1973
.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air
Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu
Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar
Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku
Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu
Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu
Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir
Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair
1973
Bekasi. 15 September 2014
Fitrah
Anugerah
Dimuat di Buletin Jejak Forum Sastra Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar