Translate

Senin, 17 November 2014

Catatan Kebudayaan: Kota, Keterasingan, dan Puisi



Kota, Keterasingan, dan Puisi

Kota adalah ruang heterogenitas yang plural, dengan diwarnai peran-peran antagonisme atau pertentangan tiap warga kota. Di mana dengan peran-peran antagonisme itu warga kota selalu melakukan ‘extraction of value’, penambahan nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan terus melakukan sirkulasi/produksi nilai yang matematis (materialistis).
Kota dibangun berdasarkan azas kepemilikan pribadi di mana para warga kota diharuskan membayar sewa/hutang mereka pada pemilik modal, termasuk juga pemilik asset yang ditempati. Dalam hal ini tak ada sesuatu yang ‘gratis’ di kota. Karena itu warga kota berjuang atau tetap bekerja untuk menghasilkan nilai/uang/materi yang harus dibayarkan kembali ke pemilik modal/asset.
Dari keadaan seperti itu memunculkan adanya perjuangan dan pertentangan antara pemilik modal/asset untuk pengukuhan diri atau hegemoninya. Wajarlah dalam suasana seperti itu akan memunculkan perasaan kekuatiran dan kecemasan. Masing-masing akan merasa kuatir/takut pada sebuah kehilangan materi/nilai. Karena itu menjadikan materi sebagai segalanya yang menentukan, materi sebagai sebuah nilai yang diyakini melebihi segalanya (hal di luar materi).
Emily Durkheim di abad 19 lampau pun menyatakan tentang keadaan masyarakat/warga kota yang seperti itu adalah masyarakat yang sakit. Yaitu masyarakat terasing dari kemanusiaan dan manusia lain. Masyarakat yang individualis yang jauh dari pribadi sosial. Masyarakat yang terasing dan lupa dari asal-usul. Masyarakat yang terjebak dalam intensifikasi kerja yang tak habis-habisnya untuk memproduksi nilai/materi. Masyarakat yang masuk dalam lingkaran otomatisasi. Kehidupan yang serba mudah serta instan, dan modern hingga mengalpakan hubungan personal antara satu dengan yang lainnya, menaifkan jalan pulang dan menghambakan diri pada materi/uang. Akhirnya kita pun menjumpai segala rasa bentuk keterasingan di kota. Warga kota pun hidup dalam ruangan yang terpetak-petak dan bergerak seperti robot atau zombie yang terus berjalan pada waktu dan jalur yang telah ditetapkan.
Tentu saja yang paling diuntungkan dari keadaan masyarakat seperti ini adalah para pemilik modal/asset. Mereka membiarkan keadaan carut-marutnya kota dalam memproduksi nilai, dan tunggang-langgangnya warga kota dalam berproduksi/bersirkulasi nilai. Dengan itu mereka melangsungkan hegemoninya atas warga kota, di antaranya dengan memberikan kesadaran semu/palsu tentang sebuah nilai sementara menidurkan nilai-nilai kritis yang ada.
Di mana peran budaya/sastra menyadari keadaan seperti itu? Sedang Kapitalis pun ternyata telah memasuki ranah budaya/sastra dan yang memprihatikan pada keadaan seperti itu sastra ternyata seolah-olah ikut memproduksi keterasingan sendiri. Menjadikan sastra hanya sebuah melankolia yang sia-sia atau hampa dan jauh persoalan masyarakat dan jauh dari perenungan yang filosofis. Seolah budaya/sastra hanya menjadi bagian dari hiasan dari sebuah rumah kapitalisme.
Sebuah pemandangan yang umum barangkali bila kita melihat di sebuah cafe seorang datang dan duduk pada sebuah meja kafe. Lalu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku, daan ternyata sebuaah novel. Dia pun larut dalam membaca seolah tak peduli pada sekitarnya, larut dalam keterasingan sendiri setelah menjalani rutinitas kerja yang eksploitatif. Atau seorang penulis/penyair yang melarutkan diri pada sebuah ketenangan taman, jauh dari hiruk-pikuk atau carut-marut keadaan di luar taman. Seolah tak peduli, mengasingkan, dan asyik sendiri dalam sebuah kerja intensifikasi dalam memproduksi nilai.
Bagaimana dengan puisi? Agaknya perlu sedikit bernafas lega pada perpuisiaan mutakhir Indonesia tema-tema perkotaan dan keterasingan masyarakat kota atau penyairnya sendiri menjadi salah satu tema yang dominan dalam sejarah perpuisian Indonesia mutakhir. Penyair, terutama yang berbiodata di kota besar, sebagaimana halnya dia sebagai warga kota. Dia mengalami. Merasakan bagaimana kerja, bagaimana carut-marut, hiruk-pikuk dan tunggang-langgang kota. Bagaimana keterasingan di antara warga kota disebabkan perburuan sebuah nilai/materi, dan bagaimana individualismenya kota mengakibatkan asing/jauh dari asal/usul, dari kesadaran kritis hingga kesadaran semu/sia-sia menjiwai.
Afrizal Malna pun dalam puisi-puisinya lantang menyuarakan kecemasan dan keterasingan masyarakat kota dari asal-usulnya. Dengan gaya bahasa bermetafor benda-benda kota, dia mencoba hadirkan nuansa kesemrawutan kota (Jakarta). Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangantersendiri di hati kami,/yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah belajar/ membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan,/saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang/menggetarkan tanah ini, burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung kota/... (“Mitos-Mitos Kecemasan”).
Tentu pada tiap penyair berbeda intepretasi pengungkapan tentang kota dan keterasingan. Wajarlah setiap penyair yang mengalami pengalaman sendiri-sendiri tentang kota, kota besar tempat penyair menjadi bagian dari warga kota.  Kita tahu sastra (puisi) pada awalnya adalah usaha yang dilakukan dengan kepekaan emosi estetik dalam menirukan realitas empirik di luar teks menjadi sebuah bentuk dunia baru. Bisa dikatakan sebagai usaha untuk meruangkan fenomena-fenomena ke dalam tafsiran yang subjektif dalam usaha membenarkan kenyataan yang dianggapnya melenceng. Dalam hal itulah puisi mengembangkan alam reflektifnya untuk akhirnya tidak sekedar menghasilkan kontemplasi (perenungan) , namun lebih jauh suatu pertobatan berkualitatif ke dalam ruang praktis yang telah terdialektis lebih dari pendalaman, hingga pada akhirnya meninggalkan sesuatu atau melampaui sesuatu. Tentu saja, penyair(sastrawan) berperan sepenuhnya atas pilihan tema, bentuk, dan gaya bahasa pengungkapan dalam menghadirkan kembali kenyataan dengan sekian tafsir subjektifnya.
Dalam hal ini peran (sastra) puisi dengan bahasanya sendiri, perlunya menjadi sebuah pegangan moral, penuntun nilai, harapan (kabar gembira) sekaligus oase bagi khalayak pembaca di antara kegersangan atau keterasingan yang dialami. Diharapkan dengan bahasa reflektif dan kontemplatifnya menjadikan dialektika menuju kesadaran kritis, diharapkan muncul sebuah gerakan atau tindakan. Akhirnya kita pun berfikir dengan kekritisan kita tentang asal-usul kita, adanya kehadiran dan keberadaan sesuatu/orang lain (liyan). Dari sini sastra (puisi) diharapkan tidak menjadi beban/sampah di antara kota/zaman, tetapi sastra (puisi) menjadi cermin reflektif atau jembatan bagi khalayak pembaca dari obyek keterasingan, kehampaan, atau melankolia menuju kesadaran kritis yang subyektif.
Kembali ke kota, Karlina Supelli dalam makalahnya “Alam dan Kota” mengutip dialog Shakespeare empat abad yang lalu tentang pengertian kota. Shakespeare mengulang dialog antara Sinicius dan warga kota Roma (Coriolanus, act 3 scene 1). “Apalah kota kalau bukan ‘the people’, ujar Sinicius kepada warga kota Roma. “Benar, the people adalah kota”, jawab warga. The people saya artikan sebagai warga.
Dari dialog empat abad yang lalu dapat diartikan bahwa pengertian kota yang paling asali adalah ‘keberadaban’. Seluruh infrastuktur kota adalah demi menciptakan keberadaban, termasuk juga pola hubungan antara warga kota, warga kota dengan keberadaan infrastruktur kota. Kita mengharapkan dan kita mendambakan sebuah kota yang beradab, kota yang sopan ,  jauh dari tunggang-langgang atau carut-marut. Tapi ironisnya kota semakin menunjukan ambiguitas. Keberadaban kota seakan hal yang mengilusi setiap warga kota. Wajahmu adalah masa silam/kota hanya terik/hanya bising/hanya jadi tempat mukim/bagi maut dan segala yang terasing/tapi(sungguh)di kota yang hanya terik/hanya bising itu/pernah kulihat sosokmu manis/berdiri di simpang jalan/….(Indra Tjahyadi: Wajahmu Adalah Masa Silam dan kota Hanya Terik, 2008).
Terakhir saya cuplikan sebuah puisi lama dari Hartoyo Andangjaya tentang sebuah kota yang beradab atau ideal. Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan kesadaran untuk membentuk kota yang beradab dan ideal itu.
SALAM TERAKHIR

.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air

Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu

Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar

Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku

Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu

Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu

Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir

Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair


1973

Bekasi. 15 September 2014

Fitrah Anugerah

Dimuat di Buletin Jejak Forum Sastra Bekasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar